Kamis, 08 Juni 2017

PATAH HATI #1

Mulutnya mulai berbuih kala itu. Air matanya sudah seperti mata air. Sudah hampir limabelas menit dia merepet membahas satu orang yang membuatnya mati langkah. Tempo bicaranya layaknya hujan di bulan Januari yang terus menghujam tanah yang bahkan sudah kuyup.
Satu orang itu benar-benar membuatnya mati langkah. Kemudian dalatanglah aku, menyeretnya paksa dari tempat yang membuatnya tak ingin beranjak. Kududukkan dia dibawah payung besar kafe tengah kota ini. Sampai saat ini adalah menit ke tiga puluh setelah kududukkan dia, telah habis gelas es jeruk keduaku, dan hanya menyisakan ludah yang mampu aku telan. Selain kata-kata darinya.
“Kamu tahu, aku sudah benar-benar cinta. Kemudian dia pergi begitu saja?. Kurang apa aku untuknya?. Kamu tahu? Aku ngga akan menemuinya lagi.” Kata-kata itu muncul sudah entah berapa kali. Bersama sesenggukannya dan bahunya yang naik turun tak karuan.
“Terus, kamu masih mencintainya?” tanyaku pelan, sambil menepuk bahunya pelan. Berusaha menenangkannya.
“Dia membuat aku jatuh cinta. Jatuh cinta tak seperti jatuh yang pernah aku alami sebelumnya. Jatuhnya dalam. Bahkan aku tak tahu harus pergi dari sana dengan cara apa” Begitu jawabnya, yang mungkin tak menjawab pertanyaanku.
“Jadi?” tanyaku pendek.

“Cukup” jawabnya pendek juga. Kemudian dia mengambil napasnya dalam-dalam dan menghelanya pelan-pelan, sepelan yang dia bisa. Napasnya mulai teratur dan bahunya mulai tenang. Kemudian dia mengucap terima kasih, berbalik badan, membayar tagihan minum kita, dan melenggang pergi. Sepuluh meter dia berjalan, dia menghadapku lagi, melambai tangan, tersenyum, dan kali ini dia benar-benar melenggang pergi.

BERSAMBUNG…