Mulutnya
mulai berbuih kala itu. Air matanya sudah seperti mata air. Sudah hampir
limabelas menit dia merepet membahas satu orang yang membuatnya mati langkah.
Tempo bicaranya layaknya hujan di bulan Januari yang terus menghujam tanah yang
bahkan sudah kuyup.
Satu
orang itu benar-benar membuatnya mati langkah. Kemudian dalatanglah aku,
menyeretnya paksa dari tempat yang membuatnya tak ingin beranjak. Kududukkan
dia dibawah payung besar kafe tengah kota ini. Sampai saat ini adalah menit ke tiga puluh setelah kududukkan dia, telah habis gelas es jeruk keduaku, dan
hanya menyisakan ludah yang mampu aku telan. Selain kata-kata darinya.
“Kamu
tahu, aku sudah benar-benar cinta. Kemudian dia pergi begitu saja?. Kurang apa
aku untuknya?. Kamu tahu? Aku ngga akan menemuinya lagi.” Kata-kata itu
muncul sudah entah berapa kali. Bersama sesenggukannya dan bahunya yang naik
turun tak karuan.
“Terus,
kamu masih mencintainya?” tanyaku pelan, sambil menepuk bahunya pelan. Berusaha
menenangkannya.
“Dia
membuat aku jatuh cinta. Jatuh cinta tak seperti jatuh yang pernah aku alami
sebelumnya. Jatuhnya dalam. Bahkan aku tak tahu harus pergi dari sana dengan
cara apa” Begitu jawabnya, yang mungkin tak menjawab pertanyaanku.
“Jadi?”
tanyaku pendek.
“Cukup” jawabnya pendek juga. Kemudian dia mengambil napasnya
dalam-dalam dan menghelanya pelan-pelan, sepelan yang dia bisa. Napasnya mulai
teratur dan bahunya mulai tenang. Kemudian dia mengucap terima kasih, berbalik
badan, membayar tagihan minum kita, dan melenggang pergi. Sepuluh meter dia
berjalan, dia menghadapku lagi, melambai tangan, tersenyum, dan kali ini dia
benar-benar melenggang pergi.
BERSAMBUNG…