Aku
takut disergap kegelapan, hingga aku berlari sekencang-kencangnya. Tak tentu
arah aku berlari, karena bapak tak pernah mengajariku untuk membaca mata angin.
Aku hanya diajari untuk membaca mata hati. Dan kini, aku terbata-bata membaca
mata hatiku. Tak kunjung bisa aku baca kalimat yang ditulis dalam hatiku. Kedua
bola mataku mulai terasa pedas. Sedetik kemudian turun air mataku yang tak lama
menjadi mata air. Menangis aku sejadi-jadinya.
“ Mengapa bapak
mengajariku pelajaran yang sesulit ini?”
“ Apakah gunanya hati
untuk hidupku?”
Aku merutuk. Bila dapat ku berteriak,
aku akan berteriak sekuat-kuatku. Namun teriakku kini dikulum oleh takutku.
Malam kian gelap, aku kian takut.