Selasa, 25 Agustus 2015

NEGERI PANTOMIM #1

Matahari kian terpejam, menyisakan bola mata yang meratap mencari mata hati.
            Aku takut disergap kegelapan, hingga aku berlari sekencang-kencangnya. Tak tentu arah aku berlari, karena bapak tak pernah mengajariku untuk membaca mata angin. Aku hanya diajari untuk membaca mata hati. Dan kini, aku terbata-bata membaca mata hatiku. Tak kunjung bisa aku baca kalimat yang ditulis dalam hatiku. Kedua bola mataku mulai terasa pedas. Sedetik kemudian turun air mataku yang tak lama menjadi mata air. Menangis aku sejadi-jadinya.
“ Mengapa bapak mengajariku pelajaran yang sesulit ini?”
“ Apakah gunanya hati untuk hidupku?”
Aku merutuk. Bila dapat ku berteriak, aku akan berteriak sekuat-kuatku. Namun teriakku kini dikulum oleh takutku. Malam kian gelap, aku kian takut.
***
            Bapak sangat membernci malam. Pada suatu hari bapak pernah bercerita kepadaku.
Jangan sekali-kali kau berkawan dengan malam hari. Jika kini kau pikir malam hari adalah waktu yang menyenangkan, maka dengarlah bapakmu ini berkata-kata. Malam adalah ranah sandiwara terburuk yang pernah ada.
Kau tahu sandiwara?
Iya, sandiwara adalah kebohongan perilaku orang-orang. Jika kau tanya pada bapakmu ini siapa yang bersandiwara?
Bapak akan jawab dengan keras. Para petinggi Negeri pantomin ini yang pandai bersandiwara, nak. Kau lihat saja seragam mereka yang berdasi, berjas, bersepatu, berjam tangan. Kau lihat itu. Seolah mereka adalah pengusung pencerahan. Tapi kenyataannya. Cih. Mereka berkawan akrab dengan kegelapan. Mereka yang menari-nari dibawah cahaya gemerlap rembulan adalah petinggi negeri pantomim.
Ingat itu nak. Kita hidup di negeri pantomim. Kita bisa bersuara, tapi tak dapat suara kita didengar. Sekuat apapun kau ingin berteriak, teriakmu akan dikululum takdir. Maka, jika kau ingin berkata-kata, belajarlah untuk membaca mata hati dulu.
Ah, sudahlah. Untuk itu, dengarlah pesan bapakmu ini, nak. Jangan sekali-kali kau bermain juga dalam sandiwara malam hari. Ayah takut kalau kau sudah masuk dalam sandiwara malam hari, kau takkan bisa kembali.”

Cerita ayah selesai, kemudian aku menguap selear-lebarnya. Jujur saja aku tak tahu apa yang bapakku tadi ceritakan. Umurku masih lima tahun waktu itu. Yang aku pikirkan malam itu adalah bapak gemar sekali bercerita dan aku gemar sekali tidak paham. Hanya itu.

Bersambung,,

1 komentar: