Aku
takut disergap kegelapan, hingga aku berlari sekencang-kencangnya. Tak tentu
arah aku berlari, karena bapak tak pernah mengajariku untuk membaca mata angin.
Aku hanya diajari untuk membaca mata hati. Dan kini, aku terbata-bata membaca
mata hatiku. Tak kunjung bisa aku baca kalimat yang ditulis dalam hatiku. Kedua
bola mataku mulai terasa pedas. Sedetik kemudian turun air mataku yang tak lama
menjadi mata air. Menangis aku sejadi-jadinya.
“ Mengapa bapak
mengajariku pelajaran yang sesulit ini?”
“ Apakah gunanya hati
untuk hidupku?”
Aku merutuk. Bila dapat ku berteriak,
aku akan berteriak sekuat-kuatku. Namun teriakku kini dikulum oleh takutku.
Malam kian gelap, aku kian takut.
***
Bapak
sangat membernci malam. Pada suatu hari bapak pernah bercerita kepadaku.
“ Jangan sekali-kali
kau berkawan dengan malam hari. Jika kini kau pikir malam hari adalah waktu
yang menyenangkan, maka dengarlah bapakmu ini berkata-kata. Malam adalah ranah
sandiwara terburuk yang pernah ada.
Kau tahu sandiwara?
Iya, sandiwara adalah
kebohongan perilaku orang-orang. Jika kau tanya pada bapakmu ini siapa yang
bersandiwara?
Bapak akan jawab dengan
keras. Para petinggi Negeri pantomin ini yang pandai bersandiwara, nak. Kau
lihat saja seragam mereka yang berdasi, berjas, bersepatu, berjam tangan. Kau
lihat itu. Seolah mereka adalah pengusung pencerahan. Tapi kenyataannya. Cih.
Mereka berkawan akrab dengan kegelapan. Mereka yang menari-nari dibawah cahaya
gemerlap rembulan adalah petinggi negeri pantomim.
Ingat itu nak. Kita
hidup di negeri pantomim. Kita bisa bersuara, tapi tak dapat suara kita didengar.
Sekuat apapun kau ingin berteriak, teriakmu akan dikululum takdir. Maka, jika
kau ingin berkata-kata, belajarlah untuk membaca mata hati dulu.
Ah, sudahlah. Untuk
itu, dengarlah pesan bapakmu ini, nak. Jangan sekali-kali kau bermain juga
dalam sandiwara malam hari. Ayah takut kalau kau sudah masuk dalam sandiwara malam
hari, kau takkan bisa kembali.”
Cerita ayah selesai,
kemudian aku menguap selear-lebarnya. Jujur saja aku tak tahu apa yang bapakku
tadi ceritakan. Umurku masih lima tahun waktu itu. Yang aku pikirkan malam itu
adalah bapak gemar sekali bercerita dan aku gemar sekali tidak paham. Hanya
itu.
Bersambung,,
Ku nantikan kelanjutannya kawan, :)
BalasHapus