Ini adalah awal tahun 2018, beberapa pekan
yang lalu orang-orang merayakan tahun baru. Awal dan baru dua kata yang bebrapa
kali membuat manusia lalai dan dua kata tersebut sangat berkaitan dengan waktu.
Ya, memang manusia beberapa kali lalai dengan waktu, maka terdapat pepatah
bahasa arab yang berbunyi “ Al-waqtu kas-saifi, in lam taqta’hu qata’aka” yang
artinya, waktu itu seperti pedang, jika engkau tidak pandai mengelola, ia akan
membunuhmu. Dalam masa muda yang manusia anggap lama itu manusia sering tidak
memanfaatkan waktunya, kemudian datanglah masa tua yang penuh penyesalan. Dalam
keadaan sehat yang seolah-olah abadi itu, manusia sering tak siap ketika ajal
telah kian mendekati. Awal dan baru akan segera bertemu dengan lama dan akhir.
...
Beberapa hari yang lalu,
ada kabar duka dari tetangga aku. Tetangga aku meninggal karena kanker getah
bening yang sudah tiga tahun dideritanya. Aku mendapat kabar itu dari teman
kecil aku yang masih menjadi tetangga aku. Ya, teman kecil aku yang masih
tersisa, namanya Afrochi. Kabar meninggalnya tetangga aku inipun mengingatkan aku
kepada teman-teman semasa kecil aku.
“Wah, kanca cilikane kene wis do meninggal kabeh ya? Mas Tego, Mas
Trisman, wis meninggal kabeh”. Ucapku kepada Afrochi.
“La iyo to kang, jenenge wis tuo”. Jawabnya
“Mbiyen pas bapak sekolah ning Kediri barang, ono adek kelasku meninggal
ning pondok. Yo bapak sing kon ngurusi padahal pondoke ning Jombang”. Bapak
melanjutkan ceritbapak, sembari menunggu adzan isya’.
“Lo kok iso ngono kang?” Tanyanya.
“Lha bapak itungane mbiyen lurah pondoke kono”. Jawabku, kemudian adzan isya’ berkumandang.
Ba’da sholat isya’ akhirnya kami melayat ke tetangga kami.
...
Sekarang tahun 2018, enam belas Juni nanti umurku menginjak
lima puluh delapan tahun. Aku sudah tak muda lagi, dan anakku sudah tak kecil
lagi. Dulu ketika ia kecil, aku sering tidur dengannya. Sebelum tidur biasanya aku
menyetel radio yang satu paket dengan senter besar, lansung aku alihkan
frekuensinya ke radio Elshinta. Sambil mendengar radio Elshinta aku bercerita
tentang masa sekolahku dulu. Aku selalu bilang kepada anakku untuk sekolah yang
tinggi. Karena aku tahu pahitnya tanpa pendidikan.
Dulu di sini tidak banyak bangunan seperti sekarang. Dulu
disini adalah sawah yang terhampar luas dan sungai yang mengalir deras. Enam tahun
bapak menjaga ternak, enam tahun setelah bapak lulus Sekolah Dasar bapak tidak
melanjutkan ke pendidikan formal. Kemudian dalam kuasa Allah dan segala
keunikannya, sekelebat bapak memikirkan untuk bersekolah lagi. Tak ada kata
terlambat pikirku.
Bapak kemudian berkelana ke Jawa Timur. Di Jombang bapak
berhenti. Kota yang Tak pernah terbayang olehku. Kota yang jauh, sangat jauh
dari Semarang. Bapak sangat ingat, uang yang bapak bawa untuk bertahan hidup
disana hanya lima belas ribu rupiah. Itu adalah uang yang emak aku mampu
berikan kepadbapak. Kemudian di sekitar Tambak Beras bapak mondok dan sekolah. Enam
tahun lamanya. Takdir Tuhan juga yang menjadikan aku untuk belajar kursus bahasa
inggris di Pare, Kediri. Waktu itu bapak mengayuh sepedbapak beberapa kilo
meter ke Pare. Pahitnya menjadi tidak berilmu memotivasi bapak untuk
bolah-balik mengayuh sepedbapak. Berkilo meter.
Setelah itu bapak begitu sibuk untuk belajar. Setelah kursus
bahasa inggrisku rampung, bapak melanjutkan untuk menempuh S1 di IAIN Wali
Songo, Semarang. Bapak anak terakhir dari tiga bersaudara, dan bapak
satu-satunya yang berpikir untuk kuliah. Maka bapak sadar bapak adalah tumpuan
keluarga. Sejak sat itu, bapak memutuskan untuk bekerja dan kuliah. Dari semester
tujuh bapak mengajar di Madrasah Tsanawiyah swasta dekat rumahku. Sampai bertahun-tahun
itu adalah kesibukanku. Sampai bapak sadar bapak telah berumur tiga puluh
delapan tahun, dan bapak belum menikah.
Tidur dulu sana, besok tak ceritain pertemuan bapak sama
ibu.
...
Ah, aku jadi ingat masa
laluku. Menceritakan masa lalu memang menyenangkan. Meskipun banyak cerita yang
pahit, Allah ternyata mempunyai jalan yang indah untuk setiap hambanya. Itu tentang
masa lalu. Sekarang dihadapanku adalah masa depan. Aku sudah tidak muda lagi. Berapa
lama lagi Allah memberikanku waktu sebelum aku bertemu teman-temanku pun aku
tak tahu. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar