Minggu, 28 Januari 2018

AKU

            Ini adalah awal tahun 2018, beberapa pekan yang lalu orang-orang merayakan tahun baru. Awal dan baru dua kata yang bebrapa kali membuat manusia lalai dan dua kata tersebut sangat berkaitan dengan waktu. Ya, memang manusia beberapa kali lalai dengan waktu, maka terdapat pepatah bahasa arab yang berbunyi “ Al-waqtu kas-saifi, in lam taqta’hu qata’aka” yang artinya, waktu itu seperti pedang, jika engkau tidak pandai mengelola, ia akan membunuhmu. Dalam masa muda yang manusia anggap lama itu manusia sering tidak memanfaatkan waktunya, kemudian datanglah masa tua yang penuh penyesalan. Dalam keadaan sehat yang seolah-olah abadi itu, manusia sering tak siap ketika ajal telah kian mendekati. Awal dan baru akan segera bertemu dengan lama dan akhir.
...
            Beberapa hari yang lalu, ada kabar duka dari tetangga aku. Tetangga aku meninggal karena kanker getah bening yang sudah tiga tahun dideritanya. Aku mendapat kabar itu dari teman kecil aku yang masih menjadi tetangga aku. Ya, teman kecil aku yang masih tersisa, namanya Afrochi. Kabar meninggalnya tetangga aku inipun mengingatkan aku kepada teman-teman semasa kecil aku.

Kamis, 08 Juni 2017

PATAH HATI #1

Mulutnya mulai berbuih kala itu. Air matanya sudah seperti mata air. Sudah hampir limabelas menit dia merepet membahas satu orang yang membuatnya mati langkah. Tempo bicaranya layaknya hujan di bulan Januari yang terus menghujam tanah yang bahkan sudah kuyup.
Satu orang itu benar-benar membuatnya mati langkah. Kemudian dalatanglah aku, menyeretnya paksa dari tempat yang membuatnya tak ingin beranjak. Kududukkan dia dibawah payung besar kafe tengah kota ini. Sampai saat ini adalah menit ke tiga puluh setelah kududukkan dia, telah habis gelas es jeruk keduaku, dan hanya menyisakan ludah yang mampu aku telan. Selain kata-kata darinya.
“Kamu tahu, aku sudah benar-benar cinta. Kemudian dia pergi begitu saja?. Kurang apa aku untuknya?. Kamu tahu? Aku ngga akan menemuinya lagi.” Kata-kata itu muncul sudah entah berapa kali. Bersama sesenggukannya dan bahunya yang naik turun tak karuan.
“Terus, kamu masih mencintainya?” tanyaku pelan, sambil menepuk bahunya pelan. Berusaha menenangkannya.
“Dia membuat aku jatuh cinta. Jatuh cinta tak seperti jatuh yang pernah aku alami sebelumnya. Jatuhnya dalam. Bahkan aku tak tahu harus pergi dari sana dengan cara apa” Begitu jawabnya, yang mungkin tak menjawab pertanyaanku.
“Jadi?” tanyaku pendek.

“Cukup” jawabnya pendek juga. Kemudian dia mengambil napasnya dalam-dalam dan menghelanya pelan-pelan, sepelan yang dia bisa. Napasnya mulai teratur dan bahunya mulai tenang. Kemudian dia mengucap terima kasih, berbalik badan, membayar tagihan minum kita, dan melenggang pergi. Sepuluh meter dia berjalan, dia menghadapku lagi, melambai tangan, tersenyum, dan kali ini dia benar-benar melenggang pergi.

BERSAMBUNG…

Kamis, 07 Januari 2016

HUJAN BULAN JANUARI


Aku sangat mencintaimu seperti aku membenci hujan di bulan Januari di kotaku. Hujan bulan Januari adalah hujan dua puluh lima jam.
Mungkin aku tak cukup pandai untuk mengartikan cinta. Yang aku tahu adalah aku mulai merindukan sentuh hangatnya, merindukan semangatnya, merindukan keagungannya, atau mungkin aku merindukan segalanya darinya. Apakah ini cinta?
Aku merasa tercermin dalam sempurna ketika bersamanya. Aku akui, di semakin mendekatkanku kepada Tuhan. Memaksaku untuk menemuinya tepat pukul nol-tiga-empat-puluh-lima. Dia memberiku pelajaran untuk dapat merasakan hangatmu, aku harus merasakan gelap yang paling pekat dan dingin yang paling menusuk.
Itulah mengapa aku sangat membenci hujan bulan Januari. Karena hujan seketika menghapus semburat jinggamu pukul nol-tiga-empat-lima. Namun tak apa. Mungkin ini cinta, semakin aku dibuat merindunya aku akan lebih mencintainya.