Kamis, 25 Juni 2015

ANGIN-ANGIN SYURGA


            “ ... Allahuakbar Allahuakbar, La Ilaha illa Allah ”.
Sayup-sayup adzan itu merambat melalui tubuhku. Hari mulai temaram dan semburat cahaya jingga perlahan memudar dari horison. Dari tubuhku, aku alirkan suara adzan itu ke dalam telinga-telinga manusia yang berjuta-juta wujudnya. Maghrib adalah salah satu oase bagi para pengembara di padang suci Ramadhan. Kebanyakan dari pengembara itu meneguk sekaligus berliter-liter air yang memang menyegarkan tersebut dan sebagian lagi dari mereka hanya berdiam diri, menunggu para pengembara yang rata-rata adalah saudagar kaya selesai meneguk minumannya kemudian dengan tangan yang gemetar mereka mengeluarkan cawan kecil mereka. Di ambilnya air itu perlahan dan mereka minum seadanya. Setidaknya untuk menyegarkan buka mereka hari ini, atau mungkin detik ini saja. Ramadhan hari ini telah meninggalkan jejak kaki dan jejak kaki-jejak kaki lain mulai beriringan menuju oase selanjutnya.

***
Hari kedua aku melangkah lagi. Kali ini, dibawah terik aku berlari-lari kecil. Langkahku yang seperti tanpa kaki, ringan dan melayang. Mungkin karena itu banyak dari orang-orang tak melihatku. Ah sudahlah, dilihat pun mungkin aku tak dihiraukan. Toh dengan tubuhku yang seperti ini aku lebih mudah belajar memahami niat dan perilaku pengembara-pengembara ini. Sesekali dengan usil aku membelai tubuh para pengembara. Kali ini para pengembara beristirahat di sebuah masjid yang megah, halamannya luas dan terdapat palang-palang untuk memarkirkan kuda-kuda mereka. Pesan untuk sholat dzuhur telah aku sampaikan lagi ke telinga-telinga mereka.
Gemericik air dari pancuran-pancuran bambu mulai basahi wajah mereka. Mendongak salah satu dari mereka. Aku ingat dia adalah salah satu dari orang-orang yang kemarin hanya membasahi kerongkongannya dengan air dari cawan kecilnya. Aku akhirnya mendekatinya perlahan, kuusap lembut wajahnya dan kemudian ditangkupkannya lagi kedua tangannya, seraya mulutnya merapal do’a.
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, dengan wajah-Nya Yang Mulia dan kekuasaanNya yang abadi, dari setan yang terkutuk. Dengan nama Allah dan semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Rasulullah. Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmatMu untukku. Amin”
Bersama dengan diusapkannya lagi telapak tangannya dalam wajahnya, akupun berkata.
Amin”.
***
Masjid ini adalah diorama dinamika kehidupan. Aku meliahat semua gerak-gerik pengembara dari puncak menara masjid ini. Aku melihat seorang pengembara muda memetik bunga, disimpan ia bunga itu di balik badannya. Namun ia seperti kebingungan tanpa arah. Kemudian aku mendekatinya, aku lemparkan pecinya hinga mendarat peci itu ke tempat yang sepi di samping masjid. Kalang kabut ia mengejarnya. Namun, setelah ia menjangkaunya tak menjadi senang hatinya. Malah menjadi merah hatinya, ternyata ia melihat pengembara mudi pujaan hatinya sedang berdua dengan pengembara yang lain. Layu sudah bunga cintanya.
“ Aaaahhhh, sial sekali kisah cintaku ini, tak sudi lagi aku bertemu dengan penjilat macam dia” umpatnya. Kemudian dibuangnya jauh-jauh bunga itu, sejauh ia tersesat oleh amarah. Aku hanya tersenyum melihatnya, kemudian aku ambil bunga itu dan kutiup pelan menuju tempat sampah yang hanya menyisakan belatung-belatung yang kelaparan karena tak ada sampah sisa makanan yang bisa mereka makan. Mungkin dalam beberapa detik, bunga cinta itu lenyap dari dunia ini.
Patah hati adalah nasib yang harus dihadapi pengembara muda ini di bulan Ramadhan dan merenung adalah hal yang pertama kali terlintas dalam pikirannya. Dalam renungnya itu pun ia tak mampu memadamkan panas dalam hatinya. Hingga seperti terdapat hujan yang mengguyur kemarau hatinya. Mendadak matanya merah dan air matanya menjadi mata air. Ia yang sedari tadi mengumpat tak jelas tentang patah hati, sebenarnya lupa bahwa terdapat tangan yang dengan ikhlas hingga saat ini membelai lembut hatinya.
Di depannya ia lihat sepasang suami istri paruh baya dengan anak perempuan mereka yang masih lembut tangannya. Mereka mengajak anaknya untuk mengenal apa yang disebut bunga. Mulai dituntunnya anak mereka untuk berani menyentuh benda indah itu yang beberapa detik yang lalu adalah hal paling buruk di mata si pengembara muda. Seketika pemuda itu teringat mamaknya. Akhirnya ia ingat, telah bertahun-tahun ia tak nyekar ke makam mamaknya. Kemudian bersama air mata yang masih turun satu-satu, mulutnya bergetar merapal do’a.
“ Robbi ighfirly waliwalidayya wa irhamhuma kama rabbayani shoghiro”. Sontak dengan bibir yang tersenyum aku mengucap.
Amin
***
Hari-hari yang lalu telah menjadi tahun-tahun yang lalu. Banyak jejak-jejak pengembara lama tergantikan jejak-jejak pengembara baru. Namun Ramadhan tetaplah sama. Ramadhan adalah perjalanan para mengembara mencari berupa macam oase. Seperti aku yang masih sama dengan Ramadhan-Ramadhan terdahulu. Aku pun masih suka untuk mengikuti setiap langkah dari para pengembara. Sayup-sayup maghrib pun masih setia aku getarkan kepada telinga-telinga manusia yang bermacam-macam bentuknya. Hingga pada suatu detik, aku berhenti. Aku benar-benar berhenti melihat kakek tua turun dari kuda dituntun cucunya yang muda dan gagah. Cucunya seseorang yang gagah. Seperti saudagar yang lain ia berlomba-lomba untuk meneguk air dari oase itu. Kemudian ia menghampiri kakenya dan berkata.
“ Wahai kakek, mengapa engkau hanya diam saja. Minumlah air ini. Apa kau tidak takut bila engkau kehabisan air ini? ”
Kakek itu hanya tersenyum dan mengeluarkan cawan kecilnya. Ia ambil sedikit air perlahan dan meminum seadanya. Itu pun sudah cukup baginya. Kemudian masih dalam senyumnya ia berkata kepada cucunya yang saudagar itu.
“ Cucuku, tolong ambilkan kakekmu ini jerigen yang aku bawa di samping kudamu!”.
Sebenarnya cucu itu agak bingung terhadap perintah kakeknya. “Buat apa kakek membawa jerigen kalau minum langsung saja, sudah menyegarkan tenggorokannya?”. Batinnya. “Ah sudahlah, sudah puas aku minum. Tak apa aku turuti perintah kakekku itu”. Batinnya lagi.
Cucu itu menyerahkan jerigennya kepada sang kakek. Dipegangnya kuat-kuat jerigen itu oleh sang kakek, kemudian dengan satu tangan yang masih bergetar kakek itu perlahan secawan demi secawan memasukkan air ke dalam jerigen tersebut, meskipun harus berebut dengan saudagar-saudagar yang masih haus itu. Diperhatikan terus perilaku kakek tersebut oleh cucunya, namun hingga jerigen itu penuh cucunya pun masih belum mafhum apa yang akan dilakukan kakeknya itu. Kakek itu paham air muka cucunya yang masih bingung. Kemudian kakek itu meminta tolong cucunya agar membawa jerigen yang berisi air penuh itu dan meminta agar cucunya mengikutinya.
Hingga berhenti mereka di bawah satu pohon palem besar dekat oase tersebut. Di sana adalah tempat para pengembara-pengembara yang tak berpunya menunggu waktu berbuka. Kemudian dengan suara lantang yang agak berat kakek itu berseru.
“ Kalian jangan hanya menunggu, nikmatilah air dalam jerigen ini dan rasakan juga dibukanya pintu rezeki di bulan Ramadhan”
Seketika itu para pengembara yang berada di bawah pohon palem itu tersenyum. Berbondong-bondong mereka untuk meminum air tersebut, tak perlu mengantri lagi mereka. Bersama dengan itu aku menangis, meskipun orang-orang mungkin tak tahu kalau aku mempuyai mata. Aku tahu persis, pohon palem itu. Bertahun-tahun yang lalu kekek itu berada pada posisi penggembara yang tek berpunya itu. Aku masih terdiam, kemudian kulihat punggung kakek tersebut sudah pergi. Menuju oase yang lain lagi.
***
Ramadhan ini aku sangat riang. Hingga tak sadar sudah terhembus aku di padang bunga yang luas sekali. Dipadang bunga ini beristirahat juga para pengembara, kecuali satu orang pengembara paruh baya yang sedari tadi dengan teliti merangkai sebuah karangan bunga. Ia tersenyum. Dengan mantap ia melangkahkan kakinya meninggalkan rombongan pengembara lain. Hingga berhenti ia di depan tanah yang luas yang aku tak tahu itu tempat apa. Kemudian pengembara itu terduduk dan menitikkan ait mata. Aku mencoba mendekatinya. Perlahan aku usap air matanya. Aku ingat, dahulu ia adalah pemuda yang panas hatinya karena putus cintanya. Seperti saat dulu ia membuang bunga cintanya yang telah layu sekarang ia pun membuang lagi bunga yang tadi dirangkainya. Namun kali ia ia berdo’a agar bunga itu tidak layu, semenjak ia lebih mengerti makna cinta yang abadi. Akhirnya bukan hanya jejak kaki dan karangan bunganya yang tertinggal di sini.

Mungkin aku sudah terlalu tua untuk bercerita lagi. Ramadhan masih sama dan aku masih seperti dulu. Aku masih angin yang bercerita hingga ke syurga. Bahwa Ramadhan masih bulan bagi mereka yang ingin berbagi. –FIN-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar