“
... Allahuakbar Allahuakbar, La Ilaha illa Allah ”.
Sayup-sayup adzan itu
merambat melalui tubuhku. Hari mulai temaram dan semburat cahaya jingga
perlahan memudar dari horison. Dari tubuhku, aku alirkan suara adzan itu ke
dalam telinga-telinga manusia yang berjuta-juta wujudnya. Maghrib adalah salah
satu oase bagi para pengembara di padang suci Ramadhan. Kebanyakan dari
pengembara itu meneguk sekaligus berliter-liter air yang memang menyegarkan
tersebut dan sebagian lagi dari mereka hanya berdiam diri, menunggu para
pengembara yang rata-rata adalah saudagar kaya selesai meneguk minumannya
kemudian dengan tangan yang gemetar mereka mengeluarkan cawan kecil mereka. Di
ambilnya air itu perlahan dan mereka minum seadanya. Setidaknya untuk
menyegarkan buka mereka hari ini, atau mungkin detik ini saja. Ramadhan hari ini
telah meninggalkan jejak kaki dan jejak kaki-jejak kaki lain mulai beriringan
menuju oase selanjutnya.
***
Hari kedua aku
melangkah lagi. Kali ini, dibawah terik aku berlari-lari kecil. Langkahku yang
seperti tanpa kaki, ringan dan melayang. Mungkin karena itu banyak dari
orang-orang tak melihatku. Ah sudahlah, dilihat pun mungkin aku tak dihiraukan.
Toh dengan tubuhku yang seperti ini aku lebih mudah belajar memahami
niat dan perilaku pengembara-pengembara ini. Sesekali dengan usil aku membelai tubuh
para pengembara. Kali ini para pengembara beristirahat di sebuah masjid yang
megah, halamannya luas dan terdapat palang-palang untuk memarkirkan kuda-kuda
mereka. Pesan untuk sholat dzuhur telah aku sampaikan lagi ke telinga-telinga
mereka.
Gemericik air dari
pancuran-pancuran bambu mulai basahi wajah mereka. Mendongak salah satu dari
mereka. Aku ingat dia adalah salah satu dari orang-orang yang kemarin hanya
membasahi kerongkongannya dengan air dari cawan kecilnya. Aku akhirnya
mendekatinya perlahan, kuusap lembut wajahnya dan kemudian ditangkupkannya lagi
kedua tangannya, seraya mulutnya merapal do’a.
“Aku
berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, dengan wajah-Nya Yang Mulia dan
kekuasaanNya yang abadi, dari setan yang terkutuk. Dengan nama Allah dan semoga
shalawat dan salam tercurahkan kepada Rasulullah. Ya Allah, bukalah pintu-pintu
rahmatMu untukku. Amin”
Bersama
dengan diusapkannya lagi telapak tangannya dalam wajahnya, akupun berkata.
“
Amin”.
***
Masjid ini adalah
diorama dinamika kehidupan. Aku meliahat semua gerak-gerik pengembara dari puncak
menara masjid ini. Aku melihat seorang pengembara muda memetik bunga, disimpan
ia bunga itu di balik badannya. Namun ia seperti kebingungan tanpa arah.
Kemudian aku mendekatinya, aku lemparkan pecinya hinga mendarat peci itu ke
tempat yang sepi di samping masjid. Kalang kabut ia mengejarnya. Namun, setelah
ia menjangkaunya tak menjadi senang hatinya. Malah menjadi merah hatinya,
ternyata ia melihat pengembara mudi pujaan hatinya sedang berdua dengan
pengembara yang lain. Layu sudah bunga cintanya.
“ Aaaahhhh, sial sekali
kisah cintaku ini, tak sudi lagi aku bertemu dengan penjilat macam dia”
umpatnya. Kemudian dibuangnya jauh-jauh bunga itu, sejauh ia tersesat oleh
amarah. Aku hanya tersenyum melihatnya, kemudian aku ambil bunga itu dan kutiup
pelan menuju tempat sampah yang hanya menyisakan belatung-belatung yang
kelaparan karena tak ada sampah sisa makanan yang bisa mereka makan. Mungkin
dalam beberapa detik, bunga cinta itu lenyap dari dunia ini.
Patah hati adalah nasib
yang harus dihadapi pengembara muda ini di bulan Ramadhan dan merenung adalah
hal yang pertama kali terlintas dalam pikirannya. Dalam renungnya itu pun ia
tak mampu memadamkan panas dalam hatinya. Hingga seperti terdapat hujan yang
mengguyur kemarau hatinya. Mendadak matanya merah dan air matanya menjadi mata
air. Ia yang sedari tadi mengumpat tak jelas tentang patah hati, sebenarnya
lupa bahwa terdapat tangan yang dengan ikhlas hingga saat ini membelai lembut
hatinya.
Di depannya ia lihat
sepasang suami istri paruh baya dengan anak perempuan mereka yang masih lembut
tangannya. Mereka mengajak anaknya untuk mengenal apa yang disebut bunga. Mulai
dituntunnya anak mereka untuk berani menyentuh benda indah itu yang beberapa
detik yang lalu adalah hal paling buruk di mata si pengembara muda. Seketika
pemuda itu teringat mamaknya. Akhirnya ia ingat, telah bertahun-tahun ia
tak nyekar ke makam mamaknya. Kemudian bersama air mata yang
masih turun satu-satu, mulutnya bergetar merapal do’a.
“ Robbi ighfirly
waliwalidayya wa irhamhuma kama rabbayani shoghiro”.
Sontak dengan bibir yang tersenyum aku mengucap.
“Amin”
***
Hari-hari yang lalu
telah menjadi tahun-tahun yang lalu. Banyak jejak-jejak pengembara lama
tergantikan jejak-jejak pengembara baru. Namun Ramadhan tetaplah sama. Ramadhan
adalah perjalanan para mengembara mencari berupa macam oase. Seperti aku yang
masih sama dengan Ramadhan-Ramadhan terdahulu. Aku pun masih suka untuk
mengikuti setiap langkah dari para pengembara. Sayup-sayup maghrib pun masih
setia aku getarkan kepada telinga-telinga manusia yang bermacam-macam
bentuknya. Hingga pada suatu detik, aku berhenti. Aku benar-benar berhenti
melihat kakek tua turun dari kuda dituntun cucunya yang muda dan gagah. Cucunya
seseorang yang gagah. Seperti saudagar yang lain ia berlomba-lomba untuk
meneguk air dari oase itu. Kemudian ia menghampiri kakenya dan berkata.
“ Wahai kakek, mengapa
engkau hanya diam saja. Minumlah air ini. Apa kau tidak takut bila engkau
kehabisan air ini? ”
Kakek itu hanya
tersenyum dan mengeluarkan cawan kecilnya. Ia ambil sedikit air perlahan dan
meminum seadanya. Itu pun sudah cukup baginya. Kemudian masih dalam senyumnya
ia berkata kepada cucunya yang saudagar itu.
“ Cucuku, tolong
ambilkan kakekmu ini jerigen yang aku bawa di samping kudamu!”.
Sebenarnya cucu itu
agak bingung terhadap perintah kakeknya. “Buat apa kakek membawa jerigen
kalau minum langsung saja, sudah menyegarkan tenggorokannya?”. Batinnya. “Ah
sudahlah, sudah puas aku minum. Tak apa aku turuti perintah kakekku itu”. Batinnya
lagi.
Cucu itu menyerahkan
jerigennya kepada sang kakek. Dipegangnya kuat-kuat jerigen itu oleh sang
kakek, kemudian dengan satu tangan yang masih bergetar kakek itu perlahan
secawan demi secawan memasukkan air ke dalam jerigen tersebut, meskipun harus
berebut dengan saudagar-saudagar yang masih haus itu. Diperhatikan terus
perilaku kakek tersebut oleh cucunya, namun hingga jerigen itu penuh cucunya
pun masih belum mafhum apa yang akan dilakukan kakeknya itu. Kakek itu paham
air muka cucunya yang masih bingung. Kemudian kakek itu meminta tolong cucunya
agar membawa jerigen yang berisi air penuh itu dan meminta agar cucunya
mengikutinya.
Hingga berhenti mereka
di bawah satu pohon palem besar dekat oase tersebut. Di sana adalah tempat para
pengembara-pengembara yang tak berpunya menunggu waktu berbuka. Kemudian dengan
suara lantang yang agak berat kakek itu berseru.
“ Kalian jangan hanya
menunggu, nikmatilah air dalam jerigen ini dan rasakan juga dibukanya pintu
rezeki di bulan Ramadhan”
Seketika itu para
pengembara yang berada di bawah pohon palem itu tersenyum. Berbondong-bondong
mereka untuk meminum air tersebut, tak perlu mengantri lagi mereka. Bersama
dengan itu aku menangis, meskipun orang-orang mungkin tak tahu kalau aku
mempuyai mata. Aku tahu persis, pohon palem itu. Bertahun-tahun yang lalu kekek
itu berada pada posisi penggembara yang tek berpunya itu. Aku masih terdiam,
kemudian kulihat punggung kakek tersebut sudah pergi. Menuju oase yang lain
lagi.
***
Ramadhan ini aku sangat
riang. Hingga tak sadar sudah terhembus aku di padang bunga yang luas sekali.
Dipadang bunga ini beristirahat juga para pengembara, kecuali satu orang
pengembara paruh baya yang sedari tadi dengan teliti merangkai sebuah karangan
bunga. Ia tersenyum. Dengan mantap ia melangkahkan kakinya meninggalkan
rombongan pengembara lain. Hingga berhenti ia di depan tanah yang luas yang aku
tak tahu itu tempat apa. Kemudian pengembara itu terduduk dan menitikkan ait
mata. Aku mencoba mendekatinya. Perlahan aku usap air matanya. Aku ingat,
dahulu ia adalah pemuda yang panas hatinya karena putus cintanya. Seperti saat
dulu ia membuang bunga cintanya yang telah layu sekarang ia pun membuang lagi
bunga yang tadi dirangkainya. Namun kali ia ia berdo’a agar bunga itu tidak
layu, semenjak ia lebih mengerti makna cinta yang abadi. Akhirnya bukan hanya
jejak kaki dan karangan bunganya yang tertinggal di sini.
Mungkin aku sudah
terlalu tua untuk bercerita lagi. Ramadhan masih sama dan aku masih seperti
dulu. Aku masih angin yang bercerita hingga ke syurga. Bahwa Ramadhan masih
bulan bagi mereka yang ingin berbagi. –FIN-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar