Kamis, 16 Juli 2015

SAAT AKU BERBICARA DALAM DIAM

           

Aku adalah seorang anak putri semata wayang dari serorang bapak yang pengusaha dan ibu seorang konsultan keuangan. Hidupku sangat berkecukupan. Bahkan ketika orang-orang lain masih sibuk untuk menyambut Ramadhan, aku telah dibelikan oleh ke-dua orang tuaku seabreg baju lebaran. Kata orang orang-orang aku adalah remaja yang cantik dan sifat periang adalah salah satu yang membuatku berbeda. Namun, bukan hanya tu yang membuat aku berbeda. Di saat anak-anak remaja seusiaku sedang gemar-gemarnya mengocehkan tentang dunia hiburan, aku lebih memilih untuk diam. Aku tak tertarik dengan hal yang seperti itu, atau lebih tepatnya aku tak mempunyai kesempatan untuk mengocehkannya.



            Aku rasa, Ramadhanku kali ini akan seperti Ramadhan-Ramadhan sebelumnya. Makanan super lezat saat sahur dan berbuka, tarawih yang terkadang membuatku mengantuk, dan untuk satu ini adalah salah satu hal yang paling aku tunggu-tunggu saat Ramadhan. Suara tadarus dari speaker masjid. Setiap malam ba’da tarawih, suara tadarusnya seperti pengantar tidurku. Begitu merdu. Itu adalah suara dari Aufa, tetanggaku.
***
            Bulan Ramadahan ini ternyata berbeda dengan tahun-tahun yang lalu. Libur sekolah di bulan Ramadhan ini ternyata lebih panjang. “ Yeeyyy,,”. Teriakku keras, meskipun hanya dalam hati. Dalam bayanganku, Ramadhan kali ini adalah Ramadhan yang paling istimewa. Ramadhan kali ini akan aku habiskan buka dan sahur bersama ke-dua orang tuaku, kuhabiskan siangku untuk membaca novel-novel teenlitku, dan akan kutenangkan hatiku setiap malam dengan mendengan suara tadarus dari Aufa. Ah, entah mengapa aku seperti menggilai suara itu. Sudah sekitar lima tahun aku menggilainya. Dan entah mengapa aku selalu senyum-senyum sendiri saat aku membayangkan pertemuan pertamaku dengannya.
            Satu tahun yang lalu, pada sebuah siang yang medung sehabis aku bersekolah adalah pertemuan pertamaku dengannya. Waktu itu juga bulan Ramadhan. Kemudian rintik hujan mulai turun, kalang-kabut semua orang yang ada di jalan ini. Termasuk aku. Kemudian aku berlari menuju halte. Halte itu sebenarnya dekat dengan rumahku. Namun, hujan yang yang sebenarnya tak begitu deras ini mempermainkan langkahku. Aku bimbang untuk melangkah atau berhenti. Bersama dengan ragu itu, aku mencoba melagkahkan kakiku untuk keluar halte. Namun langkahku terhenti, ada yang menahan lenganku. Sedetik kemudian, seperti dalam suatu adegan sinetron yang sering aku tonton, berhembuslah angin kecil yang agak basah, di terbangkan oleh angin itu anak-anak rambutku kemudian aku menoleh ke orag yang menahan tanganku.
            “ Jangan pulang dulu, hujan-hujanan akan membuatmu terkena flu” katanya kepadaku.
            “ Namaku Aufa, aku sering melihatmu. Kamu Najwa kan?” lanjutnya.
Degg, mau copot jantungku. Ini adalah sang empunya suara yang sangat aku gilai. Tak ada satu meter jarakku dengannya.
            “ Hmm” hanya suara itu yang aku keluarkan. Aku merasa begitu bodoh saat itu. Hatiku sudah meleleh entah kemana, hingga saat aku ingin mencari setiap kata yang akan mengungkapkan perasaanku saat itu semuanya mengalir entah kemana. Tak bisa aku berkata-kata.
***
            Mungkin bicara adalah musuh besarku. Sejak lahir aku tak dapat berbicara. Hanya isyarat yang dapat aku sampaikan kepada semua orang. Termasuk Aufa. Semenjak pertemuan dan perkenalan memalukan itu, aku jadi sering bertemu Aufa. Setiap kali aku bertemu isyarat senyumkulah yang aku sampaikan kepadanya. Aku harap ia mengetahui beribu macam kata dalam senyumku. Terkadang setelah pertemuan itu aku menangis berlama-lama di kamarku. Tak dapat aku tahu perasaanku saat itu. Mungkin aku menangisi ketidak mampuanku, atau mungkin juga aku menangisi bahwa cinta memang harus dibagi. Dan dalam hidupku, bagaimana aku bisa berbagi kalau mengunkapkan saja aku tak mampu.
            Seperti sebuah sore pada Ramadhan tahun lalu, saat aku menunggu berbuka di sebuah taman kota. Duduk aku di bangku sudut taman itu dan mulai membaca novelku. Tak berapa lama ada sesuatu yang mengalihkan konsentrasiku. Ternyata Aufa juga berada di sini, berolah raga ia di taman ini.
            Degg, perasaan sama seperti pertama bertemu dengannyapun muncul kembali. Hatiku meleleh lagi. Namun, kali ini ada sesuatu yang membuat aku lebih gemetaran. Aufa menghampiriku.
            “ Hai Najwa, tumben kelihatan di taman, eh ngomong-ngomong kayaknya dari saat aku bertemu denganmu, kau kelihatan pendiam?” ucapnya yang memaksaku untuk menjawab. Aku begitu bingung saat itu, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Saat aku coba membuka mulutku, aku berpikir lagi “ ini tak ada gunanya”. Saat aku mulai menggerakkan tanganku, aku takut ia menganggapku aneh. Seketika itu aku menangis. Tangisanku adalah isyarat kepadanya untuk lebih baik tetap membiarkanku sebagai pendiam.
            Namun sepertinya ia tidak menangkap isyaratku. Ia terus berada di situ. Malah diusapnya perlahan air mataku. Kemudian dengan gerakan pundakku yang masih tidak teratur aku mengeluatkan kertas kesil dan pena dari sakuku dan aku mulai menulis.
            “ Maafkan aku Aufa, aku memang orang yang tidak bisa bicara. Maaf :)”. Setelah membacanya ia malah tersenyum dan menepuk-nepuk kecil pundakku. Ia pun berbicara.
            “ Aku yang seharusnya minta maaf, maaf aku telah membuatmu menangis” kemuadian ia malah tertawa.
            “ Haha, baru kali ini aku melihat cewek setegar dirimu. Kayaknya aku suka sama kamu deh. Haha
            Degg, detik itu adalah de javu keduaku. Melihat ekspresi mukaku yang mendadak berubah, ia langsung mengalihkan pembicaraan ini.
            “ Eh Najwa, udah mau maghrib nih, kita pulang bareng yuk” uacapnya, yang lagi-lagi aku balas dengan senyuman. Senyuman ini mungkin berarti. “ Ayok” atau lebih dari itu, aku ingin mengartikannya “ Aku juga menyukaimu”.
***
            Semenjak semua kejadian itu hingga akhir-akhir ini, aku lebih  sering lagi bertemu dengannya. Pertemuanku kali ini lebih sering aku mengajarinya bahasa jari dan meminjaminya novel-novelku. Tak ada lagi pembicaraan tentang cinta lagi. Ah sudahlah, bersama dengannya pun sudah membuatku lebih riang bahkan hanya mendengar suaranya. Hingga suatu hari, sudah lama aku tidak melihatnya. Tidak ada kabar darinya untuk meminta diajarkan bahasa tangan atau meminjam novelku lagi. tapi ia tak benar-benar menghilang, suaranya masih menjadi penghias malamku meskipun akhirnya tidak menjadi pengantar tidurku. Aku mulai gelisah dan menangis lagi. Cinta memang harus bicara.
            Malam itu, dibalik gelisahku yang amat sangat aku membaca salah satu novelku. Aaaaahhh, tapi dak dapat aku untuk membacanya. Hanya aku bolak-balik saja. Hingga terdiam berhenti aku di suatu halaman. Di halaman itu ada kertas kecil berisi gambar yang awalnya aku tak paham namun lambat laun aku bisa membacanya. Itu adalah gambar isyarat jari.
            “ Jika kau memang benar-benar diciptakan untuk mencintai dan aku cintai, tengoklah keluar jendela dan cari cahaya kecilku diantara terang cahaya lampu kota”
            Seketika itu aku berlari membuka jendelaku. Celingukan aku melihat “cahaya kecil” itu. Disana, ya disana aku melihatnya. Jika intuisiku benar itu adalah Aufa. Dia mengengok ke arahku. Cukup tahu ia bahwa kita telah melakukan kontak mata. Kemudian ia pergi dan aku tersenyum.  Kemudian kubuka lagi novel itu, ku bolak-balik lagi halamannya. Mungkin ada pesan lain darinya. Batinku. Benar saja digambarkan lagi dalam isyarat jari.
            “ Jika kau berpikir cinta harus bicara, maka malam ini kamu benar-benar merasakan bahwa cinta hanya perlu dirasa dan percaya”
***

            Aku akhirnya merasa, Ramadhanku kali ini lebih istimewa dari Ramadhan-Ramadhan sebelumnya. Makanan yang masih super lezat saat sahur dan berbuka, tarawih yang terkadang masih membuatku mengantuk, dan untuk kali ini suara tadarus itu selalu menguatkanku untuk tidak mudah menagis karena aku tak bisa berbicara. Suara Aufa adalah hal istimewa di Ramadhanku. Meskipun aku tak mampu membalasnya dengan suaraku juga. Karena yang bisa aku lakukan saat ini adalah tersenyum. Isyarat bahwa aku akan terus menjaga perasaan istimewa ini. –FIN-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar