Aku rasa, Ramadhanku kali ini akan
seperti Ramadhan-Ramadhan sebelumnya. Makanan super lezat saat sahur dan
berbuka, tarawih yang terkadang membuatku mengantuk, dan untuk satu ini adalah
salah satu hal yang paling aku tunggu-tunggu saat Ramadhan. Suara tadarus dari speaker
masjid. Setiap malam ba’da tarawih, suara tadarusnya seperti pengantar tidurku.
Begitu merdu. Itu adalah suara dari Aufa, tetanggaku.
***
Bulan Ramadahan ini ternyata berbeda
dengan tahun-tahun yang lalu. Libur sekolah di bulan Ramadhan ini ternyata
lebih panjang. “ Yeeyyy,,”. Teriakku keras, meskipun hanya dalam hati.
Dalam bayanganku, Ramadhan kali ini adalah Ramadhan yang paling istimewa.
Ramadhan kali ini akan aku habiskan buka dan sahur bersama ke-dua orang tuaku,
kuhabiskan siangku untuk membaca novel-novel teenlitku, dan akan
kutenangkan hatiku setiap malam dengan mendengan suara tadarus dari Aufa. Ah,
entah mengapa aku seperti menggilai suara itu. Sudah sekitar lima tahun aku
menggilainya. Dan entah mengapa aku selalu senyum-senyum sendiri saat aku
membayangkan pertemuan pertamaku dengannya.
Satu tahun yang lalu, pada sebuah
siang yang medung sehabis aku bersekolah adalah pertemuan pertamaku dengannya.
Waktu itu juga bulan Ramadhan. Kemudian rintik hujan mulai turun, kalang-kabut
semua orang yang ada di jalan ini. Termasuk aku. Kemudian aku berlari menuju
halte. Halte itu sebenarnya dekat dengan rumahku. Namun, hujan yang yang sebenarnya
tak begitu deras ini mempermainkan langkahku. Aku bimbang untuk melangkah atau
berhenti. Bersama dengan ragu itu, aku mencoba melagkahkan kakiku untuk keluar
halte. Namun langkahku terhenti, ada yang menahan lenganku. Sedetik kemudian,
seperti dalam suatu adegan sinetron yang sering aku tonton, berhembuslah angin
kecil yang agak basah, di terbangkan oleh angin itu anak-anak rambutku kemudian
aku menoleh ke orag yang menahan tanganku.
“ Jangan pulang dulu, hujan-hujanan
akan membuatmu terkena flu” katanya kepadaku.
“ Namaku Aufa, aku sering melihatmu.
Kamu Najwa kan?” lanjutnya.
Degg,
mau copot jantungku. Ini adalah sang empunya suara yang sangat aku gilai. Tak
ada satu meter jarakku dengannya.
“ Hmm” hanya suara itu yang aku
keluarkan. Aku merasa begitu bodoh saat itu. Hatiku sudah meleleh entah kemana,
hingga saat aku ingin mencari setiap kata yang akan mengungkapkan perasaanku
saat itu semuanya mengalir entah kemana. Tak bisa aku berkata-kata.
***
Mungkin bicara adalah musuh besarku.
Sejak lahir aku tak dapat berbicara. Hanya isyarat yang dapat aku sampaikan
kepada semua orang. Termasuk Aufa. Semenjak pertemuan dan perkenalan memalukan
itu, aku jadi sering bertemu Aufa. Setiap kali aku bertemu isyarat senyumkulah
yang aku sampaikan kepadanya. Aku harap ia mengetahui beribu macam kata dalam
senyumku. Terkadang setelah pertemuan itu aku menangis berlama-lama di kamarku.
Tak dapat aku tahu perasaanku saat itu. Mungkin aku menangisi ketidak
mampuanku, atau mungkin juga aku menangisi bahwa cinta memang harus dibagi. Dan
dalam hidupku, bagaimana aku bisa berbagi kalau mengunkapkan saja aku tak
mampu.
Seperti sebuah sore pada Ramadhan
tahun lalu, saat aku menunggu berbuka di sebuah taman kota. Duduk aku di bangku
sudut taman itu dan mulai membaca novelku. Tak berapa lama ada sesuatu yang
mengalihkan konsentrasiku. Ternyata Aufa juga berada di sini, berolah raga ia
di taman ini.
Degg, perasaan sama seperti pertama
bertemu dengannyapun muncul kembali. Hatiku meleleh lagi. Namun, kali ini ada
sesuatu yang membuat aku lebih gemetaran. Aufa menghampiriku.
“ Hai Najwa, tumben kelihatan di
taman, eh ngomong-ngomong kayaknya dari saat aku bertemu denganmu, kau
kelihatan pendiam?” ucapnya yang memaksaku untuk menjawab. Aku begitu bingung
saat itu, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Saat aku coba membuka mulutku,
aku berpikir lagi “ ini tak ada gunanya”. Saat aku mulai menggerakkan
tanganku, aku takut ia menganggapku aneh. Seketika itu aku menangis. Tangisanku
adalah isyarat kepadanya untuk lebih baik tetap membiarkanku sebagai pendiam.
Namun sepertinya ia tidak menangkap
isyaratku. Ia terus berada di situ. Malah diusapnya perlahan air mataku.
Kemudian dengan gerakan pundakku yang masih tidak teratur aku mengeluatkan
kertas kesil dan pena dari sakuku dan aku mulai menulis.
“ Maafkan aku Aufa, aku memang orang
yang tidak bisa bicara. Maaf :)”. Setelah membacanya ia malah tersenyum dan
menepuk-nepuk kecil pundakku. Ia pun berbicara.
“ Aku yang seharusnya minta maaf,
maaf aku telah membuatmu menangis” kemuadian ia malah tertawa.
“ Haha, baru kali ini aku melihat
cewek setegar dirimu. Kayaknya aku suka sama kamu deh. Haha”
Degg, detik itu adalah de javu keduaku.
Melihat ekspresi mukaku yang mendadak berubah, ia langsung mengalihkan
pembicaraan ini.
“ Eh Najwa, udah mau maghrib nih,
kita pulang bareng yuk” uacapnya, yang lagi-lagi aku balas dengan
senyuman. Senyuman ini mungkin berarti. “ Ayok” atau lebih dari itu, aku ingin
mengartikannya “ Aku juga menyukaimu”.
***
Semenjak semua kejadian itu hingga
akhir-akhir ini, aku lebih sering lagi
bertemu dengannya. Pertemuanku kali ini lebih sering aku mengajarinya bahasa
jari dan meminjaminya novel-novelku. Tak ada lagi pembicaraan tentang cinta lagi.
Ah sudahlah, bersama dengannya pun sudah membuatku lebih riang bahkan hanya
mendengar suaranya. Hingga suatu hari, sudah lama aku tidak melihatnya. Tidak
ada kabar darinya untuk meminta diajarkan bahasa tangan atau meminjam novelku
lagi. tapi ia tak benar-benar menghilang, suaranya masih menjadi penghias
malamku meskipun akhirnya tidak menjadi pengantar tidurku. Aku mulai gelisah
dan menangis lagi. Cinta memang harus bicara.
Malam itu, dibalik gelisahku yang
amat sangat aku membaca salah satu novelku. Aaaaahhh, tapi dak dapat aku untuk
membacanya. Hanya aku bolak-balik saja. Hingga terdiam berhenti aku di suatu
halaman. Di halaman itu ada kertas kecil berisi gambar yang awalnya aku tak
paham namun lambat laun aku bisa membacanya. Itu adalah gambar isyarat jari.
“ Jika kau memang benar-benar
diciptakan untuk mencintai dan aku cintai, tengoklah keluar jendela dan cari
cahaya kecilku diantara terang cahaya lampu kota”
Seketika itu aku berlari membuka
jendelaku. Celingukan aku melihat “cahaya kecil” itu. Disana, ya disana aku
melihatnya. Jika intuisiku benar itu adalah Aufa. Dia mengengok ke arahku.
Cukup tahu ia bahwa kita telah melakukan kontak mata. Kemudian ia pergi dan aku
tersenyum. Kemudian kubuka lagi novel itu,
ku bolak-balik lagi halamannya. Mungkin ada pesan lain darinya. Batinku.
Benar saja digambarkan lagi dalam isyarat jari.
“ Jika kau berpikir cinta harus
bicara, maka malam ini kamu benar-benar merasakan bahwa cinta hanya perlu
dirasa dan percaya”
***
Aku akhirnya merasa, Ramadhanku kali
ini lebih istimewa dari Ramadhan-Ramadhan sebelumnya. Makanan yang masih super
lezat saat sahur dan berbuka, tarawih yang terkadang masih membuatku mengantuk,
dan untuk kali ini suara tadarus itu selalu menguatkanku untuk tidak mudah
menagis karena aku tak bisa berbicara. Suara Aufa adalah hal istimewa di
Ramadhanku. Meskipun aku tak mampu membalasnya dengan suaraku juga. Karena yang
bisa aku lakukan saat ini adalah tersenyum. Isyarat bahwa aku akan terus
menjaga perasaan istimewa ini. –FIN-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar