Minggu, 26 Juli 2015

UNTUK EMAK, BAPAK, DAN REMBULAN

Tulisan pertama saya yang telah dimuat dalam buku:



            Jalan-jalan kota itu mulai lengang. Menyisakan diriku yang sendiri. Sesekali diterpa wajahku oleh cahaya rembulan yang murung karena terhadang secarik awan kelabu. Bagiku, dunia telah berakhir malam itu. Saat dunia dengan tak pedulinya mempermalukanku. Dunia mempermalukan aku, seolah aku tak layak hidup disana.
            Lima belas hari yang lalu, bersama dengan munculnya bulan baru, hak milik atas tubuhku berganti. Dari sebelumnya bapak dan emak yang sudah almarhum terpaksa memberikan tubuh ini kepada pamanku yang selalu kering keronta, haus akan anggur merahnya, hingga kini tubuhku milik cukong gendut yang hari-harinya hanya digunakan untuk menghisap candu. Atau dengan kata lain, diriku sukses dijual oleh dunia. Dunia yang paman sering sebut kemiskinan meskipun aku menyebutnya keserakahan.

Dituntunnya aku pelan menuju dunia baru yang sering mereka sebut kegelapan. Menurutku kegelapan ternyata tak sehitam yang aku bayangkan. Setidaknya dunia ini masih memberiku hidup dibawah gemerlap lampu-lampu yang menari dalam temaram. Dunia ini memberiku aroma yang berbeda dengan aroma pesing di sepanjang terminal tempatku tinggal dulu, mengganti pakaian lusuhku, dengan pakaian mewah yang kekurangan bahan, hingga dengan pakaian ini aku sering merasa dingin dihembus angin malam.
Sebenarnya aku tahu di mana sekarang aku hidup. Aku tak cukup bodoh untuk bilang bahwa tindakanku ini merupakan tindakan yang benar. Di sini, aku adalah bunga yang hanya bisa diam saja ketika para lebah mengambil aroma tubuhku. Aku adalah bunga, yang bahkan  tak dapat aku mencintai harumku. Itulah hidupku pada hari-hari yang akan datang. Selalu berada dalam sorot mata keranjang, akan selalu diendus oleh hidung-hidung belang, dan akan selalu melakukan sesembahan untuk nafsu setan.
Sinar rembulan malam begitu romantis karena bersinar tipis, seperti alisku. Sehingga tatapan yang aku berikan dapat berarti sebuah godaan. Ini adalah malam pengeksekusian diriku. Disaksikan oleh segaris tipis bulan sabit pertama, tubuhku mereka gadaikan untuk keserakahan. Kugadaikan bibir  ini, dagu ini, rambut ini, kaki ini dan pangkalnya untuk mereka nikmati, dan aku hanya diam. Karena sekarang, aku hanyalah bunga yang dimekarkan oleh sentuh tangan mereka.
Hampir setengah bulan aku meruapkan aromaku kepada tubuh- tubuh mereka. Hingga pada akhirnya aku merasa tak sanggup lagi memberi aroma tubuhku kepada mereka. Karena aku tersadar bahwa bunga kini tak lagi hanya mengerti untuk bercinta, namun kini aku mengenal mencinta. Kepada bapak dan emakku aku jatuh cinta. Aku tak sudi lagi untuk bercinta. Tubuhku bukan milik mereka. Bibir ini, dagu ini, rambut ini, kaki ini dan pangkalnya adalah pemberian mereka yang mencintai aku. Mereka yang tak mengerti arti cinta hanya dapat bercinta dan hanya akan mengambil aroma tubuhku. Tidak seperti emak dan bapakku. Mereka senantiasa menjaga wangiku dan mengajariku untuk mencinta dengan cinta yang mereka punya.
Di ruang sempit yang remang, aku dipaksa menemi tamuku lagi. Kali ini tamuku pemuda dengan kemeja panjang rapi, celana hitam licin, dan sepatu hitam mengkilat. Seperti orang yang berpedidikan. Hingga dibuatnya aku bertanya.
“ Apakah sudah tak lagi ada hati dalam pendidikan di sini, hingga mereka tak menghargai cinta yang sejati ?”
Seperti tamuku yang pernah mendatangiku, dia pun sama. Mulai mendekatiku dengan pelan, mendekapku, menyentuhku pelan, dan terus mengambil aromaku. Namun aku yang dulu hanya bunga yang terdiam berbeda dengan sekarang. Kini aku membalasnya. Kutampar pipi kirinya kuat- kuat.
Jangan bermain-main dengan aku, aku berteriak. Meskipun hanya di dalam hati. Aku memang bunga, namun sekarang aku adalah mawar yang berduri di setiap tubuhku. Aku tak sudi mekar karena tanganmu. Karena aku akan mekar ketika tanganku mampu menepis kehinaaan yang diberi olehmu. Lalu aku membetulkan kembali pakaianku yang hampir ia tanggalkan dan berlari kencang tanpa arah. Hanya berlari mengikuti cahaya bulan malam hari ini.
Hingga berhentilah aku di sini dengan tubuh lemas dan kehabisan napas. Berteman sepi dan hanya diterangi redup cahaya rembulan berbalut mendung. Berteriak aku sekencang kencangnya, menghina dunia yang telah merenggut segala yang aku punya. Tak sudi lagi aku mengenal kegelapan dan aku sangat mengutuk keserakahan, namun teriakku dukulum suara guruh. Bersama dengan itu, hujan mulai turun rintik- rintik.
Bersama rintik yang berhenti, aku berdiri kembali. Dengan gontai aku melangkah lagi. Mencari rumah untuk kembali. Mencari makna cinta yang abadi. Di mana ingin kurasakan kembali dunia yang tak memberikan aku hidup yang layak kata mereka, namun ia memberikan suatu yang istimewa yang aku sebut cinta. Kini, aku akan terus melangkah menuju sempurna. Seperti purnama yang tak lagi murung terhadang awan kelabu. Tidak pula hanya seperi bulan baru yang gelap gulita atau bulan sabit yang penuh dengan goda.
Kepada purnama aku tersenyum dan bercerita bahwa aku masih ingin mencinta, meskipun emak dan bapak sudah di alam sana. Karena aku tetaplah aku. Aku tetaplah mawar yang semerbak. Namun wangiku tak lagi untuk hidung belang dan warnaku bukan untuk mata keranjang. Karena kini, wangiku hanya kubagi untuk emak dan bapak. Untuk mewangikankan tempat terakhir mereka bersemayam. –FIN-



Takkan berarti hidup ini saat kau dilahirkan sendiri. Takkan tercipta suatu hati saat kau tak sudi untuk berbagi. Namaku Muhammad Syihabuddin terlahir secara sungsang dari rahim ibu Sri To’ati. Ibuku tercinta. Pada tanggal 6 Mei 1997, di Kabupaten Semarang. Aku tinggal bersama idolaku, bapak Hardi. Bapakku tercinta, di Jl. Kol. HR. Hadijanto, RT 03/RW 03 Sekaran, Gunung pati, Semarang. Nama penaku adalah CHI, dan jika kawan ingin menghubungi aku, bisa lewat akun Facebook Muhammad Syihabuddin (CHI) atau lewat nomor hand phone +6289605287671. Terima kasih. :D

1 komentar: