Mencoba menulis kembali pengalaman yang pernah terjadi, dirangkum dalam bentuk yang berbeda.
Jogja Understanding
Semarang, 18 Desember 2013
Rintik hujan menghiasi soreku kali ini. Rintik yang pelan dan membosankan.
Rintik yang tak kunjung reda atau biar deras sekalian. Seperti rintik ini, perlahan ingatanku
mengajakku memahami kembali arti kasih sayang, ketenangan, dan keindahan. Hari
ini tepat setahun perayaannya. Perayaan yang kunamai Hari Kesadaranku. Jika
seharusnya perayaan berupa pemotongan nasi tumpeng, menyanyikan nyanyian-
nyanyian gembira, atau setidaknya hanya bercanda tawa dengan rekan sebaya, perayaanku
ini hanya diramaikan oleh rinik yang masih setia, hingga kurasa aku mulai
menyukainya.
Jogjakarta, 16 Desember 2012
Pak
kondektur menurunkan aku dari bis AKAP-nya disini. Dipertigaan
jalan-entah-apa-namanya. Aku tercampakkan disini. Dan sesuatau yang kujadikan
panduan saat ini adalah kata- kata terakhir kondektur tadi.
“ Lurus aja mas, nanti juga nyampe tempatnya sendiri”. Dan untuk saat ini,
mungkin jalan lurus memang benar- benar jalan yang terbaik.
Aku
menyusuri sepanjang jalan ini dengan kaku dan terkesan masih ragu. Karena
ketakutan pada dunia yang baru atau karena mendung yang masih menutupi hatiku.
Entahlah. Aku hanya berharap, bersama langkahku ini aku tidak mati kaku karena
kejamnya kriminalitas atau tergeletak lemas di pinggiran jalan karena kehidupan
jalanan yang keras.
Aku rasa, sore masih belum lama disini. Angin masih menyisakan hawa yang
begitu panas. Dan tujuanku yang berada di ujung jalan ini, yang katanya adalah
oase bagi orang- orang yang ingin menikmati dunia masih jauh dari pandanganku.
Bersama dengan keraguan, mungkin inilah maksud para pujangga dengan “ menyusur
jalan tak berujung”. Sesekali aku bertanya kepada orang yang aku temui kemanakah arah yang harus aku tempuh. Dan
jawaban itu masih sama.
“ Masih jauh mas, lurus aja”. Hingga aku masih berjalan pada jalan yang
lurus.
Dengan
keadaan yang seperti ini, begundal macam akupun merasa bingung dan bertanya-
tanya. Kenapa juga aku harus takut untuk melangkah. Sudah banyak hal yang
padahal hampir membuat aku mati kaku.
Seperti gila dan ngerinya menyusuri jalan pantura kota Demak pukul sebelas
malam tepat malam jum’at kliwon. Disana malaikat mautpun terasa dekat, dan yang
paling menyeramkan adalah aku dapat melihat malaikat maut itu. Jika kalian
ingin tahu kawan, malaikat maut itu berupa truk- truk tronton yang melaju tak
terkendali dan sesekali siap menggilas tubuhku. Itulah hidupku kawan, karena
mungkin dengan seperti itulah caraku untuk menikmati dunia.
-CHI-
Ternyata
keberuntungan masih berpihak kepadaku. Bersama otot- otot kaki yang sudah
mengencang, deru napas yang kian memburu dan bersama hasrat yang kian haus
untuk menikmat dunia, akhirnya aku sampai. Aku mencapai “oase” itu. Hingga
tempat itu benar- benar menjadi oase, setelah sedetik kemudian, rintik
menyambutku disini. Di kilometer nol. Pintu syurganya Jogjakarta.
Karena rintik itu pula aku bergegas mencari tempat berteduh. Di depan pintu
mushola belakang Taman Pintar aku duduk dan terkadang tertawa sendiri.
Menertawakan rintik ini yang seakan menggodaku untuk terus berhenti. Namun
rintik ini juga menyadarkanku. Diantara banyaknya orang yang mulai berteduh,
aku melihat dia. Dia yang tetap terpaku dibawah rintik itu. Dengan sebuah gitar
yang ia bawa seolah-olah dia siap memetik nada-nada selamat datang di
Jogjakarta. Kota para seniman katanya.
Bersambung,,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar