Sabtu, 28 Februari 2015

BOTOL ANGGUR MERAH KETIGA #1

Botol Anggur Merah Ketiga
-CHI-

Cahaya rembulan masih lembut menerpa kesunyian. Anginpun bersenda gurau karenanya. Bersama dengan itu, dia masih membisu merutuki gurauan angin yang kian dingin memenjarakan hatinya. Dia masih bertanya tentang kasih dan sayang.

“Apakah masih berwujud, Engkau?”, tanyanya pada hati, tempat dimana kasih “katanya” bersemayam.
“Mengapa kau tak sekalipun enggan memeluk hatiku atau cukup mengelusnya saja?”, tanyanya sekali lagi dalam bimbang. Namun angin masih bersenda gurau, dan tak sudi bergeming menoleh kearahnya. Hanya rembulan yang menjawab, walau dalam bentuk kebisuan. Hingga menyisakan dia dalam diam yang sejurus kemudian menjadi mencekam.
            Dia terus melihatnya. Lampu-lampu kota itu puluhan bahkan ratusan jumlahnya dia rasa. Berkilauan dan sesekali mengedip. Intensitasnya menunjukkan jika gedung-gedung kota masih tak sudi untuk mati. Mereka masih ingin memeriahkan parodi malam ini. Parodi yang seharusnya dia sambut dengan segelak tawa atau setidaknya dengan seutas senyum saja. Namun, parodi itu seperti alat putar musik lama yang juga memainkan lagu lama berulang-ulang. Hanya akan membuat sakit kuping pendengarnya. Kedip lampu inipun hanya membuat malam ini akan seperti malam sebelumnya. Semakin membuatnya lara. Malam yang dia selalu tahu akan berakhir seperti apa dan bagaimana. Malam yang lewat dengan kebersamaannya bersama sebotol anggur merah. Hanya untuk melarutkan lara.
            Di ujung keramaiaan dari segala bentuk kehidupan ini, dia sesekali merenungi hidupnya dan lebih banyak untuk mencelanya. Berdiskusi kepada botol anggur merah, akan lebih pahit mana rasa yang diberikan atau hidup yang dia jalani. Ah, sudahlah. Hanya anggur merah ini yang dia anggap sama nasibnya dengan dia atau bisa dibilang hanya anggur merah inilah yang mengerti hidupnya.
            Butir-butir anggur merah mulai tumpah dalam kerongkongannya, pahitnya menyeka pangkal lidahnya. Dan dia biarkan untuk begitu. Dia menenggak sekaligus. Biar larut sekaligus. Biarkan dia jadi mabuk pikirnya, biar dia mutah. Mutahkan segala masa lalunya. Hingga akal sehat ini tak bisa menyangga jasadnya sekarang, hanya perasaan berputar-putar yang amat sangat. Tapi dia menyukainya. Karena disana pula dia selalu menemukan senyuman yang telah lama tidak kembali. Berputar-putar sejangkauan tangan diatasnya. Tapi kakinya lemas, tak sanggup dia menggapainya. Dia terduduk dan hanya dapat memandanginya. Itupun menurutnya sudah cukup.
            Malam ini dia berputar-putar tak sadar. Di gubuk ujung desa dan di atas bukit, serta masih ditemani parodi kerlip ratusan lampu kota atau mungkin sudah menjadi puluhan, dia tertidur. Dengan mulut yang menguarkan aroma anggur.
-CHI-
Langit cerah yang biru kini perlahan lahan mulai memudar dan kelabu. Tubuh itu lemas berbaring. Mata itu seakan menemukan teduhnya, meskipun ia tidak menghendakinya. Mulutnya yang berbusa dan tangan yang masih enggan melepas anggur merah merahnya, menemani detik-detiknya meregang nyawa. Sementara aku yang masih melihat dari balik-kerumunan-orang-orang-yang-melihat-empat-orang-menggotongnya-dan-lebih-sering-mencelanya, hanya terdiam. Kemudian menitikkan air mata adalah hal yang terbaik untuk menyambutnya.
            Kerumunan itu berhenti di depan rumah reot yang sedikit condong mengikuti angin yang meniupnya. Penghuninya adalah ibu tua yang bahkan sudah lupa hari ini hari apa. Perlahan mayat itu diletakkan di depan rumah tersebut. Satu orang memasuki rumah tersebut, menemui ibu tersebut di dalam rumah. Dia sedikit berbisik dan seketika ekspresi wajah ibu itu bingung. Perkiraanku, ibu tersebut sedang mengiat-ingat apakah ia masih punya anak. Kemuadian dia mempersilahkan ibu tersebut untuk keluar dan melihat mayat tersebut. Dituntunnya ibu itu yang berjalan pelan-pelan. Melihat mayat tersebut, tatapan ibu tersebut yang bingung menjadi yakin, dan ia seolah-olah telah mencapai ingatan yang bahkan ia hapal setiap detik dari kejadiannya dalam ingatannya tersebut.
            “ Ini, anakku”. Hanya satu kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Kemudian dilanjutkan dengan tangisannya yang tanpa suara. Hanya pundak yang perlahan naik turun tak teratur. Inilah saatnya yang tepat untuk aku keluar dari balik kerumunan dan menepuk-nepuk kecil pundak ibukku. Pundak tempat dulu aku dan kakakku menyandarkan kepala.
-CHI-
            Ibukku, adalah wanita paling pendiam yang pernah aku kenali. Dibandingkan ibu-ibu lain di desaku yang aku kenal gemar sekali menggosipkan borok orang lain, ibukku lebih banyak diam. Termasuk ketika mereka membicarakan borok tentang keluargaku. Bapakku, adalah orang yang bahkan aku tak ingat wujudnya seperti apa. Dia adalah tokoh utama dalam setiap gosip ibu-ibu di desaku. Diceritakan, dulu bapakku adalah orang yang mempunyai puluhan kapal di pelabuhan. Dahulu ia dipuja, dia mempekerjakan anak-anak muda di desaku untuk menjadi anak buah kapalnya. Namun diceritakan juga, setelah bertahun-tahun menjadi anak buah kapal dari bapakku, tak ada satu hurufpun kabar tentang anak-anak muda di desaku termasuk saat ayah menginjakkan kakinya kembali di desa ini. Dicecar ia dengan makian dan teror dari warga desa sini. Bapakku diceritakan keras kepala, tak pernah gentar sedikitpun ia dengan teror atau hanya makian. Kembalinya ia ke desa hanya untuk menanamkan benih hinanya ke rahim ibukku. Kemudian dalam pagi yang masih buta, bapakku pergi meninggalkan wujudku yang masih antah berantah.

            Kakakku, enam tahun jarak umurnya dari aku adalah sosok yang merangkap sebagai bapak. Tulang punggungnya, telinganya, jari-jarinya, bahkan seluruh raganya memang dirancang untuk menjadi kuat dihantam beban berlapis-lapis. Meskipun begitu, ia bukan orang yang mempunyai cela. Setelah kepergian bapakku, hatinya mendadak hitam. Tatap matanya menjadi merah dan tajam, masa lalunya memaksa dirinya untuk harus membalaskan dendam kepada seorang bajingan yang dulu ia paggil bapak. Bajingan yang menghancurkan masa depannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar