Botol Anggur Merah
Ketiga
-CHI-
Cahaya rembulan masih lembut menerpa kesunyian.
Anginpun bersenda gurau karenanya. Bersama dengan itu, dia masih membisu
merutuki gurauan angin yang kian dingin memenjarakan hatinya. Dia masih
bertanya tentang kasih dan sayang.
“Apakah masih berwujud, Engkau?”, tanyanya pada
hati, tempat dimana kasih “katanya” bersemayam.
“Mengapa kau tak sekalipun enggan memeluk
hatiku atau cukup mengelusnya saja?”, tanyanya sekali lagi dalam bimbang. Namun
angin masih bersenda gurau, dan tak sudi bergeming menoleh kearahnya. Hanya
rembulan yang menjawab, walau dalam bentuk kebisuan. Hingga menyisakan dia
dalam diam yang sejurus kemudian menjadi mencekam.
Dia
terus melihatnya. Lampu-lampu kota itu puluhan bahkan ratusan jumlahnya dia
rasa. Berkilauan dan sesekali mengedip. Intensitasnya menunjukkan jika
gedung-gedung kota masih tak sudi untuk mati. Mereka masih ingin memeriahkan
parodi malam ini. Parodi yang seharusnya dia sambut dengan segelak tawa atau
setidaknya dengan seutas senyum saja. Namun, parodi itu seperti alat putar
musik lama yang juga memainkan lagu lama berulang-ulang. Hanya akan membuat
sakit kuping pendengarnya. Kedip lampu inipun hanya membuat malam ini akan
seperti malam sebelumnya. Semakin membuatnya lara. Malam yang dia selalu tahu
akan berakhir seperti apa dan bagaimana. Malam yang lewat dengan kebersamaannya
bersama sebotol anggur merah. Hanya untuk melarutkan lara.
Di
ujung keramaiaan dari segala bentuk kehidupan ini, dia sesekali merenungi
hidupnya dan lebih banyak untuk mencelanya. Berdiskusi kepada botol anggur
merah, akan lebih pahit mana rasa yang diberikan atau hidup yang dia jalani.
Ah, sudahlah. Hanya anggur merah ini yang dia anggap sama nasibnya dengan dia
atau bisa dibilang hanya anggur merah inilah yang mengerti hidupnya.
Butir-butir
anggur merah mulai tumpah dalam kerongkongannya, pahitnya menyeka pangkal
lidahnya. Dan dia biarkan untuk begitu. Dia menenggak sekaligus. Biar larut
sekaligus. Biarkan dia jadi mabuk pikirnya, biar dia mutah. Mutahkan segala
masa lalunya. Hingga akal sehat ini tak bisa menyangga jasadnya sekarang, hanya
perasaan berputar-putar yang amat sangat. Tapi dia menyukainya. Karena disana
pula dia selalu menemukan senyuman yang telah lama tidak kembali. Berputar-putar
sejangkauan tangan diatasnya. Tapi kakinya lemas, tak sanggup dia menggapainya.
Dia terduduk dan hanya dapat memandanginya. Itupun menurutnya sudah cukup.
Malam
ini dia berputar-putar tak sadar. Di gubuk ujung desa dan di atas bukit, serta
masih ditemani parodi kerlip ratusan lampu kota atau mungkin sudah menjadi
puluhan, dia tertidur. Dengan mulut yang menguarkan aroma anggur.
-CHI-
Langit cerah yang biru kini perlahan lahan
mulai memudar dan kelabu. Tubuh itu lemas berbaring. Mata itu seakan menemukan
teduhnya, meskipun ia tidak menghendakinya. Mulutnya yang berbusa dan tangan
yang masih enggan melepas anggur merah merahnya, menemani detik-detiknya meregang
nyawa. Sementara aku yang masih melihat dari balik-kerumunan-orang-orang-yang-melihat-empat-orang-menggotongnya-dan-lebih-sering-mencelanya,
hanya terdiam. Kemudian menitikkan air mata adalah hal yang terbaik untuk
menyambutnya.
Kerumunan
itu berhenti di depan rumah reot yang sedikit condong mengikuti angin yang
meniupnya. Penghuninya adalah ibu tua yang bahkan sudah lupa hari ini hari apa.
Perlahan mayat itu diletakkan di depan rumah tersebut. Satu orang memasuki
rumah tersebut, menemui ibu tersebut di dalam rumah. Dia sedikit berbisik dan seketika
ekspresi wajah ibu itu bingung. Perkiraanku, ibu tersebut sedang mengiat-ingat
apakah ia masih punya anak. Kemuadian dia mempersilahkan ibu tersebut untuk
keluar dan melihat mayat tersebut. Dituntunnya ibu itu yang berjalan
pelan-pelan. Melihat mayat tersebut, tatapan ibu tersebut yang bingung menjadi
yakin, dan ia seolah-olah telah mencapai ingatan yang bahkan ia hapal setiap
detik dari kejadiannya dalam ingatannya tersebut.
“
Ini, anakku”. Hanya satu kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Kemudian
dilanjutkan dengan tangisannya yang tanpa suara. Hanya pundak yang perlahan
naik turun tak teratur. Inilah saatnya yang tepat untuk aku keluar dari balik
kerumunan dan menepuk-nepuk kecil pundak ibukku. Pundak tempat dulu aku dan
kakakku menyandarkan kepala.
-CHI-
Ibukku,
adalah wanita paling pendiam yang pernah aku kenali. Dibandingkan ibu-ibu lain
di desaku yang aku kenal gemar sekali menggosipkan borok orang lain, ibukku
lebih banyak diam. Termasuk ketika mereka membicarakan borok tentang
keluargaku. Bapakku, adalah orang yang bahkan aku tak ingat wujudnya seperti
apa. Dia adalah tokoh utama dalam setiap gosip ibu-ibu di desaku. Diceritakan,
dulu bapakku adalah orang yang mempunyai puluhan kapal di pelabuhan. Dahulu ia
dipuja, dia mempekerjakan anak-anak muda di desaku untuk menjadi anak buah
kapalnya. Namun diceritakan juga, setelah bertahun-tahun menjadi anak buah
kapal dari bapakku, tak ada satu hurufpun kabar tentang anak-anak muda di
desaku termasuk saat ayah menginjakkan kakinya kembali di desa ini. Dicecar ia
dengan makian dan teror dari warga desa sini. Bapakku diceritakan keras kepala,
tak pernah gentar sedikitpun ia dengan teror atau hanya makian. Kembalinya ia
ke desa hanya untuk menanamkan benih hinanya ke rahim ibukku. Kemudian dalam
pagi yang masih buta, bapakku pergi meninggalkan wujudku yang masih antah
berantah.
Kakakku,
enam tahun jarak umurnya dari aku adalah sosok yang merangkap sebagai bapak.
Tulang punggungnya, telinganya, jari-jarinya, bahkan seluruh raganya memang
dirancang untuk menjadi kuat dihantam beban berlapis-lapis. Meskipun begitu, ia
bukan orang yang mempunyai cela. Setelah kepergian bapakku, hatinya mendadak
hitam. Tatap matanya menjadi merah dan tajam, masa lalunya memaksa dirinya
untuk harus membalaskan dendam kepada seorang bajingan yang dulu ia paggil
bapak. Bajingan yang menghancurkan masa depannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar